Rabu, 15 Juni 2022

CERPEN "Single Parent" Taken From Antologi Cerpen "Bukan Perempuan" Penerbit Elmatera

(Photo: Dok Pribadi)

SINGLE PARENT
Karya Abu Firja

      Predikat single parent biasanya terpatri pada sosok ibu yang mengasuh putra putrinya sendirian tanpa pendamping setelah ditinggal oleh suaminya karena meninggal dunia atau cerai. Namun status single parent bisa juga disandang oleh seorang ibu yang masih resmi mempunyai pasangan hidup.

Itulah yang terjadi pada diriku selama ini. Semua pekerjaan aku kendalikan sendiri tanpa nakoda yang menuntun bahtera rumah tangga kami.

“STOP....!” Itu kata yang sering meluncur dari mulutku ketika aku harus menyudahi cekcok mulut yang acap kali terjadi antara aku dan suami. Tak terhitung kata itu terlontar semenjak kami resmi menjadi pasangan suami isteri. 

“Ya Allah.... berilah kekuatan padaku untuk mengarungi bahtera rumah tangga ini, kalau ini memang jalan yang harus kutempuh, berilah kami kesabaran untuk manjalaninya..... Amin”  Doa itu merupakan menu wajib yang selalu kupanjatkan sehabis sholat fardlu. 

Masih tergambar dengan jelas, saat di mana aku dilamar oleh Pak Mas’ud, yang tidak lain adalah rekan satu pondok yang sama-sama mendarma bhaktikan tenaganya untuk menjadi staf pengajar di salah satu Madrasah Aliyah yang berada di bawah naungan Pondok Pesantren An-Naja. 

Ta’aruf kami sampai ke jenjang pernikahan berlangsung begitu cepat. Hal tersebut semata-mata bukan hanya karena menuruti Sang Kyai yang bertindak selaku mediasi alias mak comblang, namun karena kami memang sudah siap untuk berumah tangga.. Kyai Muna, begitu panggilan akrabnya adalah Pengasuh Pondok Pesantren An-Naja yang telah membukakan jalan bagiku untuk mengarungi bahtera rumah tangga bersama suami. 

Di awal pernikahan sampai lahir anakku yang pertama, bahtera rumah tangga kami lalui tanpa rintangan yang berarti meskipun banyak kerikil-kerikil tajam menghalangi. 

“Ya Allah, terima kasih atas karuniamu.... berilah kedamaian dan keberkahan dalam keluargaku”  Doa itu tak lupa kupanjatkan setiap usai sholat lima waktu. 

“Umi....?” panggil suamiku dari ruang tamu ba’da sholat isak.

“Ya Abi.. Umi di sini”  jawabku sambil membuatkan minuman untuk suamiku. Abi dan Umi adalah sapaan akrab kami berdua semenjak kami resmi menikah. Aku segera menuju ruang tamu sembari membawakan minuman teh panas buat suamiku. 

“Ada apa Abi?” tanyaku sambil  menaruh segelas teh panas di hadapan suamiku.

“Ada hal penting yang perlu Abi bicarakan sama Umi” kata suamiku sembari menggeser secangkir teh panas yang sengaja aku taruh tepat di depan suamiku. 

“Tadi siang Pak Kyai Muna memanggilku” lanjut suamiku sebelum aku sempat menanyakan perihal apa yang akan dibicarakan. 

Suamiku kemudian menceritakan semua permasalahan yang disampaikan Pak Kyai. Intinya suamiku diberi amanah oleh Pak Kyai untuk menjadi kepala sekolah di tempat kami mengajar. Semenjak menikah, kami sudah komitmen untuk mementingkan keluarga. Apalagi setelah dikaruniai seorang anak laki-laki yang sedang butuh perhatian. Mengingat tugas yang diberikan oleh pengasuh pondok itu adalah amanah, maka suamiku menerima tugas tersebut meskipun aku harus rela berhenti mengajar demi menuruti permintaan suami dengan alasan agar aku lebih fokus mengurus keluarga terutama anak yang sedang butuh perhatian. 

Memang, kalau aku mau berkata jujur dengan mengikuti kata hati, aku pasti langsung menolak apa permintaan suami. Namun karena ingin belajar menjadi isteri yang taat pada suami, akupun menuruti apa kemauan suami. 

“Kalau memang itu jalan yang terbaik, saya ikut saja apa kata Abi” begitu jawabku

“Tapi....” lanjutku

“Tapi kenapa Umi?” Potong suamiku  seperti menyelidik.

“Kalau aku harus berhenti mengajar, kapan mau mengamalkan ilmunya?”

“Masih banyak cara untuk mengamalkan ilmu yang Umi dapatkan dari bangku kuliah” kata suamiku sembari menghibur diriku. 

Akhirnya suami pun siap untuk menjalankan amanahnya menjadi kepala madrasah dan aku pun harus ikhlas menuruti kemauan suami untuk berhenti mengajar. 

Mengajar di Madrasah Aliyah swasta yang nota bene berada di bawah naungan pondok pesantren dan berada jauh dari kota bukanlah impian bagi mereka yang ingin mengajar kalau niatnya bukan ibadah. Apalagi tanggung jawab sebagai seorang kepala madrasah tidaklah ringan. 

Belam genap satu tahun mengemban amanah tersebut suami sudah merasakan betapa beratnya tanggung jawab yang harus dia pikul. Apalagi menjelang ujian akhir tahun. Maka aku juga maklum kalau semenjak saat itu waktu suami lebih banyak tersita uuntuk urusan sekolah. Mulai saat itu pula kami berdua sering terlibat cekcok mulut karena hal-hal sepele yang seharusnya tidak perlu terjadi. 

Namun karena hal-hal yang sepele itu juga kalau di antara kami tidak ada yang mau mengalah akan sangat fatal jadinya, Ibarat sepandai-pandai kita mengelola amarah, setan akan lebih lihai menggiring kita untuk lepas kendali, dan itu yang terjadi. 

Aku yang saat itu tengah hamil tujuh bulan suami mengajak aku untuk pulang ke rumah orang tuanya di kampung dengan maksud agar nanti kalau melahirkan ada yang menemani. Memang, satu bulan setelah menikah kami memutuskan untuk belajar hidup mandiri lepas dari orang tua. 

“Maaf Abi, bukan aku tidak mau patuh dan taat pada Abi sebagai suami tapi...” akupun langsung mengutarakan panjang lebar alasan penolakan ajakan suamiku itu. 

“Kalau Umi tidak mau, juga tidak masalah, tapi mulai besok aku mesti pulang ke kampung untuk menemani Ibu, kasihan beliau sudah tua tidak ada yang menemani” kata suamiku dengan nada datar namun lewat raut wajahnya jelas nampak tersirat ketidakpuasan yang sangat dalam. 

Mulai saat itulah suami jarang sekali pulang ke rumah. Kalau pun pulang dari sekolah dia langsung pulang ke rumah orang tuanya yang jaraknya lebih jauh dari rumah kami. Banyak tetangga yang heran dengan sikap kami yang menurut penilaian mereka dibilang kaku. Aku tidak peduli dengan omongan tetangga, yang penting aku berusaha untuk hidap tanpa harus menggantungkan diri pada orang lain. Aku juga belajar untuk memahami apa kemauan suamiku meskipun apa kemauan beliau tidak semuanya bisa aku turuti. 

Dalam kondisi tengah hamil tua dan anakku yang pertama masih balita segala aktifitas aku kerjakan sendiri. Seminggu sekali kadang suamiku datang menjenguk, itu pun hanya sekedar untuk melepas kangen dengan anak. Setelah puas bercengkerama dengan buah hatinya tak lama kemudian suami pun langsung pulang ke rumah orang tuanya dengan alasan kasihan ibunya tidak ada yang menemani.   

Sampailah usia kehamilanku mencapai 9 bulan. Suamiku kembali membujukku untuk mau pulang ke rumah orang tuanya agar nanti aku melahirkan di sana. Sekali lagi dengan alasan yang sama agar tidak merepotkan ibu mertua aku tetap memilih untuk dapat melahirkan di rumah sendiri. Dua kali suamiku gagal membujukku dan semakin tampak dia tidak bisa menyembunyikan kekecewaan yang dia rasakan, kami pun kembali ribut. 

Tibalah saatnya aku melahirkan. Anakku lahir laki-laki dengan selamat dengan dibantu bidan desa. Baru dua hari menghirup udara bebas anakku harus dibawa ke rumah sakit, menurut diagnosa dokter katanya ada kelainan jantung. 

Pada saat ke rumah sakit aku hanya ditemani oleh bidan desa yang menolong persalinanku. Suamiku tidak mengantarkan karena memang kejadiannya mendadak dan saat itu juga suami sedang ada tugas dinas luar dari sekolah. 

“Bagaimana Bu kata dokter?” tanyaku pada Bu Yeti, bidan desa yang baru saja keluar dari ruang dokter dimana anakku sedang dirawat. 

“Tunggu sebentar Bu, sabar ya.....” jawab Bu Yeti sambil menepuk-nepuk pundakku.

“Bapak sudah dikasih kabar belum Bu?” Tanya Bu Yeti

“Sudah Bu, sekarang baru dalam perjalanan ke sini” jawabku sambil berharap segera ada kabar dari dokter tentang kondisi anakku. 

“Bu Yeti, dipersilahkan masuk oleh dokter!” kata seorang perawat sambil menghampirinya. Tidak lama berselang Bu Yeti pun keluar dari ruangan dokter dengan raut wajah yang tidak menentu. Sambil merangkul diriku dia cuma bilang “Sabar ya Bu...” sembari matanya beraca-kaca. 

Aku seakan tak percaya… saat itu juga aku ingin menangis sekeras kerasnya atau bahkan mungkin pingsan seketika. Masih dalam rangkulan Bu Yeti aku mencoba dan berusaha untuk tetap tegar menghadapi semua ini. Saya sadar bahwa sebagai makhluk kita cuma bisa pasrah dan menerima apa yang harus kita jalani. 

Dalam situasi seperti itu justru aku tidak ingin nanti suamiku terpukul dengan keadaan ini. Setelah berusaha untuk tetap tegar dan menenangkan diri aku melangkah menuju ruang di mana anakku berada. 

“Ya Allah, Ya Rabb... kalau ini memang jalan yang terbaik buat aku dan keluargaku, aku ikhlas.....” Beberapa saat aku berdoa dan termenung di samping anakku tanpa kusadari suamiku sudah berada di sampingku. 

Kutatap wajah suamiku, dari kedua bola matanya mengalir deras air mata yang tak dapat dibendung sampai tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Dalam raut wajahnya terpancar rasa penyesalan yang amat dalam. Aku pun menyadari itu dan aku pun menyesal kalau selam ini belum bisa menjadi isteri yang mampu membahagiakan suami. (Abu Firja)

ADAPTASI DENGAN APLIKASI

           Di era teknologi, tak dapat dipungkiri semua sektor butuh aplikasi, tak terkecuali sektor pendidikan. Dalam dunia perdagangan (ju...