Cerpen berjudul “Mendung di Pertengahan Maret” telah diterbitkan dalam buku antologi cerpen “Kenangan Putih Abu-Abu” di tahun 2016
Di Tahun 2025 ini ada sebuah cerpen karya Abu Firja berjudul
“Mendung Menggelantung di Awal November” sangat menggelitik untuk bisa
diterbitkan dalam satu buku antologi cerpen “Kisah Baju Seragam Keki”
Penasaran? Silahkan baca cerpennya berikut ini! :
Oktober baru saja berlalu, namun awan kelabu sudah menggelayut pekat di hati Susi. Bukan karena langit pagi itu mendung, melainkan karena bayangan mata teduh Pak Dayat, Kepala Sekolah tempatnya mengajar, terus menghantuinya.
Pikiran Susi berkecamuk. Ia tahu betul status dan batasan
itu. Ia seorang guru muda yang idealis, seharusnya fokus pada pendidikan
karakter murid-muridnya. Dayat sendiri adalah sosok kepala sekolah panutan,
tegas, berwibawa, dan yang paling penting, sudah beristri dengan dua anak yang menginjak
dewasa.
Hubungan terlarang itu bermula dari hal yang paling polos:
pekerjaan. Awalnya hanya diskusi tentang Kurikulum Merdeka, masalah siswa yang
sulit diatur, atau persiapan akreditasi sekolah. Obrolan profesional itu sering
berlanjut hingga larut di ruang kepala sekolah yang sepi setelah semua guru
pulang. Kelelahan bekerja seringkali memicu curhat masalah pribadi. Susi
menemukan kenyamanan dan kesabaran dalam setiap nasihat dari Dayat, sementara
Dayat menemukan pendengar yang antusias dan suportif dalam diri Susi.
Sejak saat itu, ada ikatan tak kasat mata yang terjalin.
Tatapan mata Dayat kini lebih sering tertuju padanya saat rapat. Pesan singkat
di grup kantor seringkali berlanjut menjadi pesan pribadi yang lebih intim.
"Sudah makan, Bu Susi?" atau "Jangan terlalu lelah ya, istirahat
dulu," menjadi sapaan rutin yang membuat jantung Susi berdebar tak karuan.
Puncaknya terjadi sore itu. Hujan turun deras, menggagalkan
niat Susi untuk segera pulang. Hanya ada mereka berdua di kantor. Suasana
temaram dan aroma kopi yang diseduh Dayat menciptakan keintiman yang
menyesakkan. Saat itulah, Dayat mengakui perasaannya. Pengakuan yang sudah Susi
tunggu-tunggu, sekaligus ia takuti.
"Mungkin ini salah, Sus," ucap Dayat, suaranya
terdengar berat, "Tapi saya... saya merasa nyaman sekali saat bersamamu.
Ada sesuatu yang sudah lama hilang dari hidup saya."
Susi terdiam. Hatinya terbelah dua. Satu sisi menjeritkan
dosa dan moral, sisi lain merindukan kasih sayang yang tulus dari sosok
pemimpin yang super sabar itu. Akhirnya, godaan itu pun menang. Mereka
terjerumus dalam satu kesalahan besar yang mengubah segalanya.
Seminggu setelah kejadian itu, mendung di awal November
semakin pekat. Bukan hanya di langit, tapi juga di ruang guru. Bisik-bisik
mulai terdengar. Gelagat canggung antara Susi dan Dayat saat berinteraksi di
depan publik mulai tercium oleh rekan-rekan guru lainnya. Istri Dayat, yang
kebetulan juga seorang guru, mulai menunjukkan tatapan curiga setiap kali
mampir datang ke sekolah suaminya.
Susi merasa tertekan. Setiap tawa muridnya terasa hambar.
Setiap langkahnya di koridor sekolah terasa berat, seperti berjalan di atas
kaca rapuh yang siap pecah kapan saja. Ia merasa menjadi guru terburuk, merusak
kepercayaan orang-orang yang mengaguminya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Dayat pun tak jauh beda. Wibawanya perlahan luntur. Ia
menjadi lebih sering marah-marah, seolah-olah rasa bersalah itu merenggut
ketenangan dalam memimpin. Sekolah yang tadinya kondusif, kini terasa penuh
ketegangan, diracuni oleh situasi yang rumit antara dua insan yang seharusnya
menjadi teladan.
Mendung di awal November itu akhirnya memuncak menjadi
badai. Kebenaran terkuak. Situasi sulit itu menyebar dengan cepat,
menghancurkan reputasi, karier, dan yang terpenting, keluarga. Susi terpaksa
mengundurkan diri, sementara Dayat menghadapi tuntutan berat dari istrinya dan
sanksi dari dinas pendidikan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar